Laporan Sidang Ketujuh Belas CSI Senin 31 Juli 2017 (2)

Laporan Sidang Ketujuh Belas CSI Senin 31 Juli 2017 (2)

Pledoi lanjutan …
Pengertian yang terdapat dalam Permen 16/2016 memiliki persamaan dengan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah  yang berbunyi:
Laporan Sidang Ketujuh Belas CSI Senin 31 Juli 2017 (2)

“_Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharobah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan Bank Syariah dan / UUS_”

JPU terlihat tidak dapat membedakan mengenai fakta bahwa kegiatan dengan adanya akad simpanan berjangka mudharobah adalah kegiatan koperasi dalam bentuk simpanan, bukan kegiatan perbankan syariah dalam bentuk deposito. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa tuntutan praktek “Bank Gelap” tidak terbukti.

Selain itu terdapat juga asas dalam hukum pidana yang kita kenal dengan Lex posterior derogat legi priori, dimana menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior). Dalam hal ini UU LKM lebih baru dibandingkan dengan UU Perbankan Syariah. UU LKM yang terbit setelah berdirinya OJK yaitu tahun 2013, dan berlaku pada tahun 2014 seharusnya lebih utama dibandingkan UU Perbankan Syariah yang disahkan pada tahun 2008. Di dalam UU LKM jelas memiliki ketentuan pidananya sendiri sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Maka demikian jika berdasarkan asas Lex posterior derogat legi priori seharusnya JPU mendakwa dengan ketentuan pidana dalam UU LKM, bukan UU Perbankan Syariah. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana yang menyatakan “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Dengan demikian maka jelas seharusnya ketentuan pidana yang berlaku adalah UU LKM bukan UU Perbankan Syariah, karena selain undang-undangnya lebih baru dan itu lebih menguntungkan terdakwa sebagaimana amanat pada KUH Pidana.

Selanjutnya, merujuk pada pengertian dari Prinsip Ultimum Remedium dinyatakan bahwa penerapan sanksi pidana merupakan sanksi terakhir dalam penegakan hukum. Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar mengartikan bahwa ultimum remedium sebagai alat terakhir. Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menyatakan bahwa norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Kemudian dalam perkara ini, Bapak Mohammad Yahya dan Bapak Iman Santoso sama sekali tidak pernah menerima teguran dalam bentuk apapun. Hal ini terbukti bahwa didalam berkas-berkas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan fakta yang terungkap dalam persidangan tidak ada dokumen teguran baik dari Kementerian Koperasi dan UKM maupun dari Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan atau paling tidak memberikan kesempatan kepada CSI untuk mengembalikan uang para nasabah. Dalam perkara ini tampak jelas bahwa proses pidana dijadikan primum remedium (jalan pertama) untuk menghukum orang. Padahal, didalam asas jelas dikatakan bahwa menghukum pidana orang itu adalah the least option (jalan terakhir).


*_Perbuatan Bapak Mohammad Yahya dan Bapak Iman Santoso tidak dapat dipidana karena perbuatan Bapak Mohammad Yahya dan Bapak Iman Santoso masuk kedalam ranah perdata/privat_*

0 Response to "Laporan Sidang Ketujuh Belas CSI Senin 31 Juli 2017 (2)"

Post a Comment